Seringkali kita melihat masalah
hanya dari kacamata pribadi. Ada seorang bapak tua bersama empat anaknya masih
kecil-kecil. Mereka naik kereta ekonomi dari Jatinegara menuju Semarang. Di dalam
kereta, anak-anak itu sangat ribut sehingga mengganggu penumpang yang lain. Berlarian
kesana kemari, teriak-teriak tawa mewarnai keceriaan mereka. Penumpang yang
lain banyak yang merasa terganggu dengan tawa anak-anak itu. Sang Bapak Tua
sepertinya tidak mau tahu. Seorang ibu memberanikan diri untuk menegur Bapak
Tua.
“Pak, maaf pak, apakah anak-anak
itu anak Bapak?”
Tanpa menjawab, Bapak Tua itu
pelan-pelan mengangkat kepala dan melihat kearah ibu yang menegurnya. “Ada apa
bu??” tanya Bapak Tua.
“Itu pak, anak bapak, mereka
berisik dan mengganggu penumpang yang lain. Tolong disuruh diam pak. Sebagai orang
tua, harusnya bapak bisa menjaga anak-anaknya donk. Kami merasa terganggu.”
“Oh, maaf bu, saya tidak bisa”
jawab Bapak Tua.
“Kenapa tidak bisa? Kan itu anak
bapak?”
“Saya tidak tega.”
“Kenapa tidak tega?”
“Tiga hari yang lalu, mereka baru
saja kehilangan kedua orang tuanya akibat kecelakaan pesawat. Sejak kecelakaan
itu, mereka tidak pernah berhenti menangis dan baru hari ini saya bisa melihat
mereka tertawa. Saya tidak tega memberhentikan tawanya. Jika ibu tega, saya
persilahkan” jawab Bapak Tua mengakhiri percakapan.
Sang ibu kemudian kembali ke
tempat duduknya dan tidak bisa berkata apa-apa lagi sambil meneteskan air
matanya. Kini, marahnya berubah menjadi sayang, bencinya jadi simpati. Ia sangat
senang melihat anak yatim piatu itu bisa tertawa lepas.
Yakinlah, pada saat kita mau
membuka mata hati dan pendengaran pastilah hidup ini lebih mudah untuk
dipahami. Kebencian jadi kasih saying, dendam jadi persahabatan. Tidak ada yang
salah dalam kehidupan ini, yang salah adalah pada saat kita tidak berusaha mau
mengerti tentang kehidupan. Sungguh, Allah menginginkan kebaikan bagimu,
kehidupan di dunia dan di akhirat. Karena Allah Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang.
*Ust. Bagus Pranowo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar