Minggu, 24 Februari 2013

kunci kesuksesan*


Islam sebagai rahmat bagi semesta merupakan paket lengkap yang tidak memerlukan tambahan sedikit pun. Ia adalah sebuah ajaran multi dimensi yang bisa dipraktekkan di segala bidang, di semua tempat. Ia ibarat rumah yang bisa memenuhi semua kebutuhan penghuninya, bahkan ia bisa turut memfasilitasi orang-orang yang berada di luar rumah itu.
Di dalam Islam, terdapat banyak cara yang memang sudah Allah siapkan penganutnya mencapai kesuksesan (kebahagiaan) di dunia, terlebih kesuksesan abadi di akhirat kelak. Bahkan, hanya dengan melaksanakan satu cara saja, maka kesuksesan bisa digenggam oleh seorang hamba yang benar dalam meyakini dan menjalaninya. Tentunya, jika hal tersebut dilakukan dengan benar sesuai dengan apa yang terdapat di dalam al-Qur’an dan hadits Rasul.

Salah satu cara yang bisa ditempuh agar seorang hamba mendapatkan kesuksesan dunia dan akhirat itu adalah Tawakal. Sebuah kata multi makna yang seringkali disalahmaknai oleh umat Islam itu sendiri. Di mana tawakal sering dipahami sebagai pasrah tanpa upaya. Hal inilah yang perlu diluruskan agar umat Islam kembali memegang tampuk kekuasaan dunia guna menebarkan kejayaan di semua bidang.
Disebutkan dalam sebuah riwayat oleh Ibnu Hibban, bahwa ada seorang badui yang tidak mengikat untanya dengan berdalih bahwa ia bertawakal. Lantas, sang nabi pun bersabda, “Ikatlah untamu dan bertawakallah.”
Kita juga mendapati bahwa Rasulullah dan Abu Bakar ash-Shidiq bersembunyi di gua Tsur saat dikejar orang-orang kafir dalam peristiwa hijrah. Sedangkan jika mau, maka beliau berdua bisa saja menampakkan diri karena keduanya dalam lindungan Allah. Namun, persembunyian yang dilakukan oleh keduanya adalah satu sarana ikhtiar yang kemudian dengannya mereka bertawakkal.
Di dalam setiap peperangan pun demikian. Beliau memakai baju besi, mempersiapkan senjata, bekal juga strategi sebagai wujud ikhtiar. Dan selebihnya, kaum muslimin bertawakal. Menyerahkan semuanya kepada Allah. Maka, tawakal adalah mengambil sebab yang diperintahkan kemudian menyerahkan urusannya kepada Allah.

Ciri Keimanan
Iman adalah kombinasi antara yakin, ucapan dan tingkah laku. Maka iman, mempunyai bermacam ciri. Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakal. (QS al-Anfal [8]:2)
Tawakal merupakan satu dari sekian banyak ciri keimanan seorang hamba. Dalam banyak ayat, Allah juga berkali-kali menegaskan bahwa yang bisa melakukan tawakal hanyalah orang-orang yang benar Islam dan imannya.
Berkata Musa, “Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri.” (QS Yunus [10]: 84) Tawakal, adalah bukti, apakah keyakinan kita kepada Allah sekadar ucapan, atau benar adanya, “Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal.” (QS Ali Imran [3]:122)

Kunci Kesuksesan
Kesuksesan sejati bagi seorang muslim yang mukmin adalah ketika mereka bisa meyakini Allah di atas segalanya. Maka tawakal merupakan sebuah pengakuan tulus bahwa manusia sejatinya memang lemah sedangkan Allah Maha Kuat atas segala sesuatu. Sehingga, mereka menggantungkan semuanya kepada Sang Maha setelah usaha yang dilakukan mencapai derajat maksimal.
Tawakal adalah sebuah janji dari Allah. Bahwa siapa yang melakukannya, maka Allah akan mencukupi kebutuhannya. Allah berfirman, “Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS ath-Thalaq [65]:3)
Dalam menafsirkan ayat ini, Sayyid Quthb mengatakan, “Maka sikap bertawakal kepada Allah adalah sikap bergantung dan berserah diri kepada kekuasaan Allah Yang Maha Kuasa dan kekuatan yang Maha Perkasa, yang Maha Berkehendak atas apa yang diinginkanNya, yang Maha Menyempurnakan atas apa yang dikehendakiNya.
Terkait tawakal sebagai cara agar semua kebutuhan tercukupi, Umar bin Khaththab mendengar bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Allah akan memberikan rezeki kepadamu sebagaimana Allah memberikan rezeki kepada burung yang berangkat pagi hari dalam keadaan lapar lalu pulang di sore hari dalam keadaan kenyang. (HR Tirmidzi, hadits hasan)
Burung yang pergi mencari makan di pagi hari tidaklah membawa bekal apa-apa. Hanya berbekal insting, mereka terbang dari satu tempat menuju tempat lainnya. Dan karena upayanya itu, karena geraknya itu, Allah memberikan mereka anugerah rezeki yang tak terhingga sehingga ketika sore menjelang, tembolok mereka sudah penuh dengan makanan yang Allah berikan.

Agar Tidak Diganggu Setan
Sayangnya, dalam proses menuju kepada kesuksesan itu, setan sebagai satu-satunya musuh abadi umat manusia tidak akan pernah diam. Bahkan, dalam banyak riwayat disebutkan bahwa setan akan mencari masa sebanyak-banyaknya untuk diajak masuk ke dalam neraka jahannam. Hebatnya, mereka sudah diberi otoritas oleh Allah untuk menggoda manusia agar tersesat dengan berbagai cara, dalam setiap kondisi, di sepanjang kehidupan hingga kiamat terjadi.
Oleh karena itu, kita harus senantiasa mendekatkan diri kepada Allah agar terlindung dari godaan setan yang terkutuk. Dalam sebuah ayat disebutkan bahwa tawakal merupakan jalan yang dijamin oleh Allah. Bahwa ketika kita melalui jalan tersebut, setan tidak akan bisa mengganggu kita. “Sesungguhnya syaitan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya.” (QS an-Nahl [16]:99)

Dicintai Allah dan Dijamin Surga
Dalam proses perjalanan spiritual seorang hamba, dicintai Allah merupakan tujuan yang tidak bisa ditawar lagi. Bahkan, kaum sufi seringkali mengatakan bahwa surga yang didapatkan pun akan sia-sia belaka ketika cinta dari Allah tidak mereka dapatkan. Maka dicintai Allah, adalah harga mati agar nikmat yang diberikan, di dunia atau akhirat, berupa senang atau susah, bisa menjadikan seorang hamba makin dekat denganNya. Karena kedekatan dengan Allah merupakan salah satu indikasi apakah seseorang dicintaiNya, atau sebaliknya.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS Ali Imran [3]:159). Dalam ayat ini Allah menegaskan. Bahwa tawakal merupakan salah satu jalan yang bisa ditempuh bagi siapa saja yang ingin dicintai oleh Allah. Dalam ayat ini, tawakal juga berkedudukan sama dengan taqwa, ikhlas dan aneka amal shalih lainnya, di mana pelakunya bisa mendapatkan ganjaran dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’alaa.
Maka, ketika Allah sudah mencintai seorang hamba, penduduk langit dan bumi pun akan berbondong-bondong mencintai hamba tersebut. Sehingga surga yang Allah janjikan, akan diberikan kepada siapa yang dicintaiNya. Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, “Beberapa kaum yang hatinya seperti burung (bertawakal), akan masuk surga” (HR Muslim). Sedangkan dalam hadits lain disebutkan, “Surga akan dimasuki oleh 70.000 orang tanpa hisab. Mereka adalah orang-orang yang tidak membakar dirinya dengan besi, tidak minta dijampi-jampi, tidak merasa sial karena adanya sesuatu dan bertawakal kepada Tuhannya.” (HR Bukhari)
Yang perlu dicatat, bahwa tawakal dilakukan setelah ikhtiar manusiawi dilakukan dengan sempurna. Kemudian kita menyerahkan semuanya kepada Allah yang Maha Kuasa. Semoga kita termasuk dalam kalangan orang-orang yang bertawakal kepada Allah. Sehingga kesuksesan di dunia dan akhirat akan Allah berikan kepada kita. Aamiin. Wallahu A’laam bish-Showab.

*dakwatuna

Senin, 28 Januari 2013

sahabat terbaik

kalian merupakan sahabat terbaik bagiku..
susah dan senang bersama kalian..
semoga kita berkumpul di kehidupan nan abadi, akhirat, syurga.
"Maka Allah memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan wajah dan kegembiraan hati. Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka dengan syurga dan pakaian sutera. Di dalamnya neraka duduk bertelekan di atas dipan, mereka tidak merasakan di dalamnya teriknya matahari dan tidak pula dingin yang bersangatan." (Qs. Al-Insaan: 11-13)

Minggu, 27 Januari 2013

Bapak Tua


Seringkali kita melihat masalah hanya dari kacamata pribadi. Ada seorang bapak tua bersama empat anaknya masih kecil-kecil. Mereka naik kereta ekonomi dari Jatinegara menuju Semarang. Di dalam kereta, anak-anak itu sangat ribut sehingga mengganggu penumpang yang lain. Berlarian kesana kemari, teriak-teriak tawa mewarnai keceriaan mereka. Penumpang yang lain banyak yang merasa terganggu dengan tawa anak-anak itu. Sang Bapak Tua sepertinya tidak mau tahu. Seorang ibu memberanikan diri untuk menegur Bapak Tua.

“Pak, maaf pak, apakah anak-anak itu anak Bapak?”

Tanpa menjawab, Bapak Tua itu pelan-pelan mengangkat kepala dan melihat kearah ibu yang menegurnya. “Ada apa bu??” tanya Bapak Tua.

“Itu pak, anak bapak, mereka berisik dan mengganggu penumpang yang lain. Tolong disuruh diam pak. Sebagai orang tua, harusnya bapak bisa menjaga anak-anaknya donk. Kami merasa terganggu.”

“Oh, maaf bu, saya tidak bisa” jawab Bapak Tua.

“Kenapa tidak bisa? Kan itu anak bapak?”

“Saya tidak tega.”

“Kenapa tidak tega?”

“Tiga hari yang lalu, mereka baru saja kehilangan kedua orang tuanya akibat kecelakaan pesawat. Sejak kecelakaan itu, mereka tidak pernah berhenti menangis dan baru hari ini saya bisa melihat mereka tertawa. Saya tidak tega memberhentikan tawanya. Jika ibu tega, saya persilahkan” jawab Bapak Tua mengakhiri percakapan.

Sang ibu kemudian kembali ke tempat duduknya dan tidak bisa berkata apa-apa lagi sambil meneteskan air matanya. Kini, marahnya berubah menjadi sayang, bencinya jadi simpati. Ia sangat senang melihat anak yatim piatu itu bisa tertawa lepas.

Yakinlah, pada saat kita mau membuka mata hati dan pendengaran pastilah hidup ini lebih mudah untuk dipahami. Kebencian jadi kasih saying, dendam jadi persahabatan. Tidak ada yang salah dalam kehidupan ini, yang salah adalah pada saat kita tidak berusaha mau mengerti tentang kehidupan. Sungguh, Allah menginginkan kebaikan bagimu, kehidupan di dunia dan di akhirat. Karena Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

*Ust. Bagus Pranowo

Ketika Aku Memilih

Dalam setiap pilihan hidup, seorang mukmin beristikharah pada Allah. Tetapi shalat istikharah itu hanyalah satu tahapan saja, sebagian dari tanda kepasrahannya kepada apa yang dipilihkan Allah bagi kebaikannya. Untuk dunia, agama, dan akhiratnya. Istikharah yang sesungguhnya dimulai jauh sebelum itu; rasa dari taqwa, menjaga kesucian ikhtiar, dan kepekaan dalam menjaga hubungan baik dengan Allah.

Ketika segala sebelumnya dijalani dengan apa yang diatur-Nya, maka istikharah adalah saat bertanya. Pertama tentang pantaskah kita dijawab oleh-Nya. Yang kedua, seperti apa jawaban itu. Yang ketiga, beranikah kita untuk menerima jawaban itu. Apa adanya. Karena itulah sejujur-jujur jawaban. Di situlah letak furqaan, karena kepekaan khas orang bertaqwa.

Karena soalnya bukanlah diberi atau tidak diberi. Soalnya, bukan diberi dia atau diberi yang lain. Urusannya adalah tentang bagaimana Allah memberi. Apakah diulungkan lembut dengan cinta, ataukan dilempar ke muka penuh murka. Bisa saja yang diberikan sama, tapi rasa dan dampaknya berbeda. Dan bisa saja yang diberikan pada kita berbedadari apa yang diharap hati, tapi rasanya jauh melampaui. Di situlah yang kita namakan barakah.

Di jalan cinta para pejuang, ada taqwa yang menjaminkan barakah untuk kita.

*Jalan Cinta Para Pejuang, hal 125