Minggu, 24 Februari 2013

kunci kesuksesan*


Islam sebagai rahmat bagi semesta merupakan paket lengkap yang tidak memerlukan tambahan sedikit pun. Ia adalah sebuah ajaran multi dimensi yang bisa dipraktekkan di segala bidang, di semua tempat. Ia ibarat rumah yang bisa memenuhi semua kebutuhan penghuninya, bahkan ia bisa turut memfasilitasi orang-orang yang berada di luar rumah itu.
Di dalam Islam, terdapat banyak cara yang memang sudah Allah siapkan penganutnya mencapai kesuksesan (kebahagiaan) di dunia, terlebih kesuksesan abadi di akhirat kelak. Bahkan, hanya dengan melaksanakan satu cara saja, maka kesuksesan bisa digenggam oleh seorang hamba yang benar dalam meyakini dan menjalaninya. Tentunya, jika hal tersebut dilakukan dengan benar sesuai dengan apa yang terdapat di dalam al-Qur’an dan hadits Rasul.

Salah satu cara yang bisa ditempuh agar seorang hamba mendapatkan kesuksesan dunia dan akhirat itu adalah Tawakal. Sebuah kata multi makna yang seringkali disalahmaknai oleh umat Islam itu sendiri. Di mana tawakal sering dipahami sebagai pasrah tanpa upaya. Hal inilah yang perlu diluruskan agar umat Islam kembali memegang tampuk kekuasaan dunia guna menebarkan kejayaan di semua bidang.
Disebutkan dalam sebuah riwayat oleh Ibnu Hibban, bahwa ada seorang badui yang tidak mengikat untanya dengan berdalih bahwa ia bertawakal. Lantas, sang nabi pun bersabda, “Ikatlah untamu dan bertawakallah.”
Kita juga mendapati bahwa Rasulullah dan Abu Bakar ash-Shidiq bersembunyi di gua Tsur saat dikejar orang-orang kafir dalam peristiwa hijrah. Sedangkan jika mau, maka beliau berdua bisa saja menampakkan diri karena keduanya dalam lindungan Allah. Namun, persembunyian yang dilakukan oleh keduanya adalah satu sarana ikhtiar yang kemudian dengannya mereka bertawakkal.
Di dalam setiap peperangan pun demikian. Beliau memakai baju besi, mempersiapkan senjata, bekal juga strategi sebagai wujud ikhtiar. Dan selebihnya, kaum muslimin bertawakal. Menyerahkan semuanya kepada Allah. Maka, tawakal adalah mengambil sebab yang diperintahkan kemudian menyerahkan urusannya kepada Allah.

Ciri Keimanan
Iman adalah kombinasi antara yakin, ucapan dan tingkah laku. Maka iman, mempunyai bermacam ciri. Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakal. (QS al-Anfal [8]:2)
Tawakal merupakan satu dari sekian banyak ciri keimanan seorang hamba. Dalam banyak ayat, Allah juga berkali-kali menegaskan bahwa yang bisa melakukan tawakal hanyalah orang-orang yang benar Islam dan imannya.
Berkata Musa, “Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri.” (QS Yunus [10]: 84) Tawakal, adalah bukti, apakah keyakinan kita kepada Allah sekadar ucapan, atau benar adanya, “Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal.” (QS Ali Imran [3]:122)

Kunci Kesuksesan
Kesuksesan sejati bagi seorang muslim yang mukmin adalah ketika mereka bisa meyakini Allah di atas segalanya. Maka tawakal merupakan sebuah pengakuan tulus bahwa manusia sejatinya memang lemah sedangkan Allah Maha Kuat atas segala sesuatu. Sehingga, mereka menggantungkan semuanya kepada Sang Maha setelah usaha yang dilakukan mencapai derajat maksimal.
Tawakal adalah sebuah janji dari Allah. Bahwa siapa yang melakukannya, maka Allah akan mencukupi kebutuhannya. Allah berfirman, “Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS ath-Thalaq [65]:3)
Dalam menafsirkan ayat ini, Sayyid Quthb mengatakan, “Maka sikap bertawakal kepada Allah adalah sikap bergantung dan berserah diri kepada kekuasaan Allah Yang Maha Kuasa dan kekuatan yang Maha Perkasa, yang Maha Berkehendak atas apa yang diinginkanNya, yang Maha Menyempurnakan atas apa yang dikehendakiNya.
Terkait tawakal sebagai cara agar semua kebutuhan tercukupi, Umar bin Khaththab mendengar bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Allah akan memberikan rezeki kepadamu sebagaimana Allah memberikan rezeki kepada burung yang berangkat pagi hari dalam keadaan lapar lalu pulang di sore hari dalam keadaan kenyang. (HR Tirmidzi, hadits hasan)
Burung yang pergi mencari makan di pagi hari tidaklah membawa bekal apa-apa. Hanya berbekal insting, mereka terbang dari satu tempat menuju tempat lainnya. Dan karena upayanya itu, karena geraknya itu, Allah memberikan mereka anugerah rezeki yang tak terhingga sehingga ketika sore menjelang, tembolok mereka sudah penuh dengan makanan yang Allah berikan.

Agar Tidak Diganggu Setan
Sayangnya, dalam proses menuju kepada kesuksesan itu, setan sebagai satu-satunya musuh abadi umat manusia tidak akan pernah diam. Bahkan, dalam banyak riwayat disebutkan bahwa setan akan mencari masa sebanyak-banyaknya untuk diajak masuk ke dalam neraka jahannam. Hebatnya, mereka sudah diberi otoritas oleh Allah untuk menggoda manusia agar tersesat dengan berbagai cara, dalam setiap kondisi, di sepanjang kehidupan hingga kiamat terjadi.
Oleh karena itu, kita harus senantiasa mendekatkan diri kepada Allah agar terlindung dari godaan setan yang terkutuk. Dalam sebuah ayat disebutkan bahwa tawakal merupakan jalan yang dijamin oleh Allah. Bahwa ketika kita melalui jalan tersebut, setan tidak akan bisa mengganggu kita. “Sesungguhnya syaitan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya.” (QS an-Nahl [16]:99)

Dicintai Allah dan Dijamin Surga
Dalam proses perjalanan spiritual seorang hamba, dicintai Allah merupakan tujuan yang tidak bisa ditawar lagi. Bahkan, kaum sufi seringkali mengatakan bahwa surga yang didapatkan pun akan sia-sia belaka ketika cinta dari Allah tidak mereka dapatkan. Maka dicintai Allah, adalah harga mati agar nikmat yang diberikan, di dunia atau akhirat, berupa senang atau susah, bisa menjadikan seorang hamba makin dekat denganNya. Karena kedekatan dengan Allah merupakan salah satu indikasi apakah seseorang dicintaiNya, atau sebaliknya.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS Ali Imran [3]:159). Dalam ayat ini Allah menegaskan. Bahwa tawakal merupakan salah satu jalan yang bisa ditempuh bagi siapa saja yang ingin dicintai oleh Allah. Dalam ayat ini, tawakal juga berkedudukan sama dengan taqwa, ikhlas dan aneka amal shalih lainnya, di mana pelakunya bisa mendapatkan ganjaran dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’alaa.
Maka, ketika Allah sudah mencintai seorang hamba, penduduk langit dan bumi pun akan berbondong-bondong mencintai hamba tersebut. Sehingga surga yang Allah janjikan, akan diberikan kepada siapa yang dicintaiNya. Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, “Beberapa kaum yang hatinya seperti burung (bertawakal), akan masuk surga” (HR Muslim). Sedangkan dalam hadits lain disebutkan, “Surga akan dimasuki oleh 70.000 orang tanpa hisab. Mereka adalah orang-orang yang tidak membakar dirinya dengan besi, tidak minta dijampi-jampi, tidak merasa sial karena adanya sesuatu dan bertawakal kepada Tuhannya.” (HR Bukhari)
Yang perlu dicatat, bahwa tawakal dilakukan setelah ikhtiar manusiawi dilakukan dengan sempurna. Kemudian kita menyerahkan semuanya kepada Allah yang Maha Kuasa. Semoga kita termasuk dalam kalangan orang-orang yang bertawakal kepada Allah. Sehingga kesuksesan di dunia dan akhirat akan Allah berikan kepada kita. Aamiin. Wallahu A’laam bish-Showab.

*dakwatuna

Senin, 28 Januari 2013

sahabat terbaik

kalian merupakan sahabat terbaik bagiku..
susah dan senang bersama kalian..
semoga kita berkumpul di kehidupan nan abadi, akhirat, syurga.
"Maka Allah memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan wajah dan kegembiraan hati. Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka dengan syurga dan pakaian sutera. Di dalamnya neraka duduk bertelekan di atas dipan, mereka tidak merasakan di dalamnya teriknya matahari dan tidak pula dingin yang bersangatan." (Qs. Al-Insaan: 11-13)

Minggu, 27 Januari 2013

Bapak Tua


Seringkali kita melihat masalah hanya dari kacamata pribadi. Ada seorang bapak tua bersama empat anaknya masih kecil-kecil. Mereka naik kereta ekonomi dari Jatinegara menuju Semarang. Di dalam kereta, anak-anak itu sangat ribut sehingga mengganggu penumpang yang lain. Berlarian kesana kemari, teriak-teriak tawa mewarnai keceriaan mereka. Penumpang yang lain banyak yang merasa terganggu dengan tawa anak-anak itu. Sang Bapak Tua sepertinya tidak mau tahu. Seorang ibu memberanikan diri untuk menegur Bapak Tua.

“Pak, maaf pak, apakah anak-anak itu anak Bapak?”

Tanpa menjawab, Bapak Tua itu pelan-pelan mengangkat kepala dan melihat kearah ibu yang menegurnya. “Ada apa bu??” tanya Bapak Tua.

“Itu pak, anak bapak, mereka berisik dan mengganggu penumpang yang lain. Tolong disuruh diam pak. Sebagai orang tua, harusnya bapak bisa menjaga anak-anaknya donk. Kami merasa terganggu.”

“Oh, maaf bu, saya tidak bisa” jawab Bapak Tua.

“Kenapa tidak bisa? Kan itu anak bapak?”

“Saya tidak tega.”

“Kenapa tidak tega?”

“Tiga hari yang lalu, mereka baru saja kehilangan kedua orang tuanya akibat kecelakaan pesawat. Sejak kecelakaan itu, mereka tidak pernah berhenti menangis dan baru hari ini saya bisa melihat mereka tertawa. Saya tidak tega memberhentikan tawanya. Jika ibu tega, saya persilahkan” jawab Bapak Tua mengakhiri percakapan.

Sang ibu kemudian kembali ke tempat duduknya dan tidak bisa berkata apa-apa lagi sambil meneteskan air matanya. Kini, marahnya berubah menjadi sayang, bencinya jadi simpati. Ia sangat senang melihat anak yatim piatu itu bisa tertawa lepas.

Yakinlah, pada saat kita mau membuka mata hati dan pendengaran pastilah hidup ini lebih mudah untuk dipahami. Kebencian jadi kasih saying, dendam jadi persahabatan. Tidak ada yang salah dalam kehidupan ini, yang salah adalah pada saat kita tidak berusaha mau mengerti tentang kehidupan. Sungguh, Allah menginginkan kebaikan bagimu, kehidupan di dunia dan di akhirat. Karena Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

*Ust. Bagus Pranowo

Ketika Aku Memilih

Dalam setiap pilihan hidup, seorang mukmin beristikharah pada Allah. Tetapi shalat istikharah itu hanyalah satu tahapan saja, sebagian dari tanda kepasrahannya kepada apa yang dipilihkan Allah bagi kebaikannya. Untuk dunia, agama, dan akhiratnya. Istikharah yang sesungguhnya dimulai jauh sebelum itu; rasa dari taqwa, menjaga kesucian ikhtiar, dan kepekaan dalam menjaga hubungan baik dengan Allah.

Ketika segala sebelumnya dijalani dengan apa yang diatur-Nya, maka istikharah adalah saat bertanya. Pertama tentang pantaskah kita dijawab oleh-Nya. Yang kedua, seperti apa jawaban itu. Yang ketiga, beranikah kita untuk menerima jawaban itu. Apa adanya. Karena itulah sejujur-jujur jawaban. Di situlah letak furqaan, karena kepekaan khas orang bertaqwa.

Karena soalnya bukanlah diberi atau tidak diberi. Soalnya, bukan diberi dia atau diberi yang lain. Urusannya adalah tentang bagaimana Allah memberi. Apakah diulungkan lembut dengan cinta, ataukan dilempar ke muka penuh murka. Bisa saja yang diberikan sama, tapi rasa dan dampaknya berbeda. Dan bisa saja yang diberikan pada kita berbedadari apa yang diharap hati, tapi rasanya jauh melampaui. Di situlah yang kita namakan barakah.

Di jalan cinta para pejuang, ada taqwa yang menjaminkan barakah untuk kita.

*Jalan Cinta Para Pejuang, hal 125

Sabtu, 26 Januari 2013

Kematian Hati*


Banyak orang tertawa tanpa (mau) menyadari sang maut sedang mengintainya. Banyak orang cepat datang ke shaf shalat laiknya orang yang amat merindukan kekasih. Sayang ternyata ia datang tergesa-gesa hanya
agar dapat segera pergi.Seperti penagih hutang yang kejam ia perlakukan Tuhannya.

Ada yang datang sekedar memenuhi tugas rutin mesin agama. Dingin, kering dan hampa,tanpa penghayatan. Hilang tak dicari, ada tak disyukuri. Dari jahil engkau disuruh berilmu dan tak ada idzin untuk berhenti hanya pada ilmu.Engkau dituntut beramal dengan ilmu yang ALLAH berikan. Tanpa itu alangkah besar kemurkaan ALLAH atasmu.

Tersanjungkah engkau yang pandai bercakap tentang keheningan senyap ditingkah rintih istighfar, kecupak air wudlu di dingin malam, lapar perut karena shiam atau kedalaman munajat dalam rakaat-rakaat panjang.
Tersanjungkah engkau dengan licin lidahmu bertutur, sementara dalam hatimu tak ada apa-apa.Kau kunyah mitos pemberian masyarakat dan sangka baik orang-orang berhati jernih, bahwa engkau adalah seorang saleh, alim, abid lagi mujahid, lalu puas meyakini itu tanpa rasa ngeri.

Asshiddiq Abu Bakar Ra. Selalu gemetar saat dipuji orang. “Ya ALLAH, jadikan diriku lebih baik daripada sangkaan mereka, janganlah Engkau hukum aku karena ucapan mereka dan ampunilah daku lantaran ketidak tahuan mereka”, ucapnya lirih.

Ada orang bekerja keras dengan mengorbankan begitu banyak harta dan dana,lalu ia lupakan semua itu dan tak pernah mengenangnya lagi. Ada orang beramal besar dan selalu mengingat-ingatnya, bahkan sebagian menyebut-nyebutnya. Ada orang beramal sedikit dan mengklaim malnya sangat banyak. Dan ada orang yang sama sekali tak pernah beramal,lalu merasa banyak amal dan menyalahkan orang yang beramal, karena kekurangan atau ketidak-sesuaian amal mereka dengan lamunan pribadinya, atau tidak mau kalah dan tertinggal di belakang para pejuang.

Mereka telah menukar kerja dengan kata. Dimana kau letakkan dirimu?
Saat kecil, engkau begitu takut gelap, suara dan segala yang asing. Begitu kerap engkau bergetar dan takut. Sesudah pengalaman dan ilmu makin bertambah, engkaupun berani tampil di depan seorang kaisar tanpa rasa gentar. Semua sudah jadi biasa, tanpa rasa.

Telah berapa hari engkau hidup dalam lumpur yang membunuh hatimu sehingga getarannya tak terasa lagi saat ma’siat menggodamu dan engkau meni’matinya? Malam-malam berharga berlalu tanpa satu rakaatpun kau kerjakan. Usia berkurang banyak tanpa jenjang kedewasaan ruhani meninggi. Rasa malu kepada ALLAH, dimana kau kubur dia?

Di luar sana rasa malu tak punya harga. Mereka jual diri secara terbuka lewat layar kaca, sampul majalah atau bahkan melalui penawaran langsung. Ini potret negerimu: 228.000 remaja mengidap putau. Dari 1500 responden usia SMP & SMU, 25 % mengaku telah berzina dan hampir separohnya setuju remaja berhubungan seks di luar nikah asal jangan dengan perkosaan.

Mungkin engkau mulai berfikir “Jamaklah, bila aku main mata dengan aktifis perempuan bila engkau laki-laki atau sebaliknya di celah-celah rapat atau berdialog dalam jarak sangat dekat atau bertelepon dengan menambah waktu yang tak kauperlukan sekedar melepas kejenuhan dengan canda jarak jauh” Betapa jamaknya ‘dosa kecil’ itu dalam hatimu. Kemana getarannya yang gelisah dan terluka dulu, saat “TV Thaghut” menyiarkan segala “kesombongan jahiliyah dan maksiat?” Saat engkau muntah melihat laki-laki (banci)berpakaian perempuan, karena kau sangat mendukung ustadzmu yang mengatakan.”

Jika ALLAH melaknat laki-laki berbusana perempuan dan perempuan berpakaian laki-laki, apa tertawa riang menonton akting mereka tidak dilaknat?” Ataukah taqwa berlaku saat berkumpul bersama, lalu yang berteriak paling lantang “Ini tidak islami” berarti ia paling islami, sesudah itu urusan tinggallah antara engkau dengan dirimu, tak ada ALLAH disana?

Sekarang kau telah jadi kader hebat. Tidak lagi malu-malu tampil. Justeru engkau akan dihadang tantangan: sangat malu untuk menahan tanganmu dari jabatan tangan lembut lawan jenismu yang muda dan segar. Hati yang berbunga-bunga didepan ribuan massa. Semua gerak harus ditakar dan jadilah pertimbanganmu tergadai pada kesukaan atau kebencian orang, walaupun harus mengorbankan nilai terbaik yang kau miliki.

Lupakah engkau, jika bidikanmu ke sasaran tembak meleset 1 milimeter, maka pada jarak 300 meter dia tidak melenceng 1 milimeter lagi? Begitu jauhnya inhiraf di kalangan awam, sedikit banyak karena para elitenya telah salah melangkah lebih dulu.

Siapa yang mau menghormati ummat yang “kiayi”nya membayar beberapa ratus ribu kepada seorang perempuan yang beberapa menit sebelumnya ia setubuhi di sebuah kamar hotel berbintang, lalu dengan enteng mengatakan “Itu maharku, ALLAH waliku dan malaikat itu saksiku” dan sesudah itu segalanya selesai, berlalu tanpa rasa bersalah?

Siapa yang akan memandang ummat yang da’inya berpose lekat dengan seorang perempuan muda artis penyanyi lalu mengatakan “Ini anakku, karena kedudukan guru dalam Islam adalah ayah, bahkan lebih dekat daripada ayah kandung dan ayah mertua?”

Akankah engkau juga menambah barisan kebingungan ummat lalu mendaftar diri sebagai ‘alimullisan (alim di lidah)? Apa kau fikir sesudah semua kedangkalan ini kau masih aman dari kemungkinan jatuh ke lembah yang sama?

Apa beda seorang remaja yang menzinai teman sekolahnya dengan seorang alim yang merayu rekan perempuan dalam aktifitas da’wahnya? Akankah kau andalkan penghormatan masyarakat awam karena statusmu lalu kau serang maksiat mereka yang semakin tersudut oleh retorikamu yang menyihir? Bila demikian, koruptor macam apa engkau ini? Pernah kau lihat sepasang mami dan papi dengan anak remaja mereka. Tengoklah langkah mereka di mal. Betapa besar sumbangan mereka kepada modernisasi dengan banyak-banyak mengkonsumsi produk junk food, semata-mata karena nuansa “westernnya”. Engkau akan menjadi faqih pendebat yang tangguh saat engkau tenggak minuman halal itu, dengan perasaan “lihatlah, betapa Amerikanya aku”. Memang, soalnya bukan Amerika atau bukan Amerika, melainkan apakah engkau punya harga diri. 

*Ust. Rahmat Abdullah

Cinta Hingga ke Surga*


Melihat fenomena para pengantin baru yang saling melontarkan kata mesra di jejaring sosial, saya hanya bisa tersenyum. Ah, rasanya romantisme pasangan baru itu adalah hal yang wajar dan amat lumrah. Tapi melihat romantisme para “pengantin lama”, rasanya itu luar biasa.Mungkin beberapa pekan ini orang-orang sedang disibukkan dengan boomingnya film Habibie-Ainun. Film yang mengangkat kisah cinta dan perjalanan keluarga pak Habibie dan istrinya ibu Ainun. Sepasang sosok jenius yang mengabdikan diri untuk negeri padahal di luar negeri sana sudah terjanjikan kehidupan yang jauh lebih baik. Sosok seorang istri yang dengan sabar senantiasa mendukung dan menemani perjuangan suami dalam kondisi apapun, hingga walaupun kini sudah tiada, sosok bu Ainun bagi pak Habibie tak pernah terganti.

Pun kisah bu Dian dan pak Eko. Mungkin kisah ini juga sudah banyak yang tahu. Bu Dian, seorang lulusan universitas ternama, cantik, cerdas, namun suatu hari ia divonis terkena lupus, padahal saat itu ia dan suami yang sudah cukup lama berumah tangga belum juga diberi keturunan. Tentu bukan sakit yang ringan, hingga bu Dian harus dioperasi berkali-kali bahkan sempat kehilangan penglihatannya.  Namun, dengan segenap cinta dan ketulusan, pak Eko terus merawat dan menemani sang istri. Dengan sakit yang menahun, bu Dian akhirnya mempersilakan pak Eko untuk kembali menikah. Namun inilah jawaban dari seorang pak Eko, “Saat kau sehat pun aku takkan tega menduakanmu. Apalagi saat kau sakit seperti ini, rasanya aku lebih tak tega lagi jika harus disuruh untuk menambah rasa sakitmu.” Di kesempatan lain, bahkan pak Eko memberi bu Dian sebuah buku yang ia tulis sendiri. Dalam buku itu tertulis sebuah doa, “Allah jadikan aku mencintainya bukan karena kecantikannya. Bukan pula karena kecerdasannya. Dan bukan karena keturunannya. Dan bahkan bukan karena dia sakit. Melainkan karena Engkau cinta padaku. Aamiin.”

Tak jauh dari pelupuk mata, saya pun menyaksikan cinta dua orang yang sangat saya sayangi, Ibu dan Bapak. Dengan sosok keduanya yang hampir tak pernah saling melontarkan kata mesra, tak pernah terlihat sisi romantis keduanya, namun kala ibu sakit dan hanya bisa tergolek lemas, bapak lah yang dengan sabar dan telaten memenuhi semua kebutuhannya, menjaganya saat tidur, menyuapi makan dan minumnya, bahkan membersihkan bekas buang airnya. Hingga maut pun akhirnya memisahkan keduanya di penghujung tahun ini.

Namun dari semua kisah yang ada, tentunya kisah Rasulullah SAW lah yang menjadi inspirasi utama kita semua. Kisah cinta sejatinya bersama Khadijah RA. Bagi Rasulullah, Khadijah tak ada duanya, beliau senantiasa dimuliakan saat hidup dan sesudah wafat. Ia lah wanita pertama yang mengimaninya saat yang lain mengingkari, dan hanya darinyalah Rasulullah dianugerahi putra-putri. Tidaklah Rasulullah menghadapi kerasnya gangguan dan penolakan yang membuatnya sedih kecuali Allah SWT melapangkan hatinya melalui Khadijah RA. Sehingga tak heran, walaupun Khadijah sudah tiada, Rasulullah masih terus menyebut kebaikan-kebaikannya, menjaga silaturahim dengan kerabat dan sahabatnya, sampai-sampai mengundang kecemburuan ‘Aisyah RA. Dari Aisyah RA, “Saya tidak pernah cemburu kepada seorang wanita seperti kecemburuanku kepada Khadijah, karena Rasulullah sangat sering menyebut-nyebut namanya…” (HR. Bukhari-Muslim). 
Begitulah, Khadijah adalah istri Nabi di dunia dan di surga.

Kita tentunya berharap bahwa cinta yang kita bangun pun tak hanya sampai di dunia tapi bisa berlabuh di akhirat. Namun, berlabuh di akhirat saja tak cukup tapi harus berlabuh di surga. Karena, adakah sepasang manusia yang cintanya akan berlabuh di neraka? Jawabannya ada, bahkan diabadikan Allah di dalam Al-Qur’an.“Celakalah kedua belah tangan Abu Lahab dan celakalah dia. Harta bendanya dan apa yang ia usahakan tidak berguna bagi dirinya. Ia akan masuk api yang menyala- nyala. (Demikian juga) istrinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut.”(QS. Al-Lahab: 1-5)Abu Lahab dan istrinya. Itulah contoh pasangan sejati yang Allah janjikan akan bersatu lagi di akhirat, namun bukan di surga, melainkan di neraka. Na’udzubillah. Maka, kita senantiasa memohon kepada Allah agar cinta kita kepada suami, cinta kita kepada istri adalah cinta yang membawa keberkahan dan keridhaan Allah SWT.

Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, “Semoga Allah merahmati seorang laki-laki yang bangun pada malam hari untuk mengerjakan shalat, kemudian ia membangunkan istrinya untuk mengerjakan. Jika istrinya tidak mau, maka ia memercikkan air pada wajahnya. Semoga Allah merahmati seorang wanita yang bangun pada malam hari untuk mengerjakan shalat, kemudian ia membangunkan suaminya untuk mengerjakan. Jika suaminya tidak mau, maka ia memercikkan air pada wajahnya. Jika keduanya bangun lalu mengerjakan shalat dua rakaat maka keduanya dicatat sebagai golongan laki-laki dan perempuan yang banyak berdzikir kepada Allah.” (Hadits riwayat Abu Dawud dan Nasa’i)

Alangkah indahnya Rasulullah menggambarkan cinta yang dibangun dalam bingkai ketaatan kepada Sang Pemilik Alam Semesta. Cinta yang produktif menghasilkan amal dan kerja-kerja nyata dalam dakwah. Hingga kelak, cinta-cinta itu kembali bersemi di surga-Nya.Wallahu a’lam bishshawaab.*dakwatuna